Kamis, Desember 29, 2011
Pemanfaatan Teknologi Sebagai Media untuk Melestarikan Budaya dan Nilai Luhur Bangsa Indonesia
Hal pertama yang saya pikirkan saat melihat tema diatas adalah teman kamar saya, namanya burhan, dia adalah salah seorang peserta OPSI 2011 di Jakarta kemarin, tentu bukan orangnya yang menginspirasi saya dalam menulis essai ini, tapi penelitiannya yang bahkan akan dia bawa dalam acara pemeran penelitian di Belanda 3 bulan lagi. Penelitian itu berjudul: “SAMAN DANCE REVOLUTION, sebuah game interaktif khas Indonesia” yaitu sebuah game dilengkapi sensor warna dari webcam sehingga player akan belajar sekaligus mempraktik Tari Saman khas Aceh di depan komputernya sendiri.
Hal tersebut adalah bentuk kongkrit melestarikan budaya melalui sebuah teknologi, karena melestarikan disini berarti kita mempraktekan kembali apa-apa yang telah diajarkan leluhur kita berupa budaya, tentunya dengan cara dan kreativitas kita sendiri melalui teknologi yang pesat berkembang saat ini, sehingga dampak buruk teknologi dapat dikurangi dengan menjaga budaya dan nilai luhur sebagai pengendali atas pemanfaatan teknologi tersebut agar menuju jalan yang benar.
Apa dampak Buruk Teknologi?
Bagaikan seorang manusia berjalan tanpa mata maka jalannya tidak akan sampai pada tujuan yang sebenarnya. Sebuah teknologi adalah sebuah kaki tersebut bagi manusia, tapi tanpa ada mata untuk melihat atau pemahaman akan tujuan teknologi, alih-alih teknologi digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan nilai luhur dan akhirnya teknologi tidak sesuai pada tujuan yang sebenarnya, seperti contoh, pelajar mencontek melalui sms, merusak jaringan sebagai cracker, bersifat unsociable karena kecanduan blackberry, sehingga terisolasi oleh dunia mayanya sendiri dan lain sebagainya.
Bagi saya, menggabungkan Teknologi Maju dan Budaya Luhur sangat diwajibkan bagi para remaja dan Pemuda, Budaya adalah suatu cara hidup berkembang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (wikipedia.com), sehingga didalamnya terdapat berbagai macam cara memahami hidup dengan baik, oleh karenanya hal ini merupakan bentuk pelestarian sejak dini bagi anak cucu pada masa yang akan datang.
Maka mulailah saat ini untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana pembantu dalam hal-hal yang luhur dan juga tentunya mempertahankan budaya seni yang sangat banyak di Indonesia ini, karena semua telah terbukti jika kita tidak segera kreatif melestarikannya maka, Lagu Rasa Sayang-sayange dari Maluku, Lagu Injit-injit Semut dari Jambi, Lagu Kakak Tua dari Maluku, Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur, Tari Piring dari Sumatera Barat, Alat Musik Gamelan dari Jawa, Rendang dari Sumetera Barat, Motif Batik Parang dari Yogyakarta, telah diklaim oleh Pemerintah tatangga, yaitu Malaysia. Begitu juga Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan yang telah dipatenkan oleh perusahaan Jepang serta Tempe makanan khas Indonesia yang diklaim oleh WN Jepang . Sangat miris sekali.
Pada dasarnya, sebuah Teknologi tidak dapat dipungkiri akan terus berkembang sampai dimana manusia merasa puas atas sebuah pencapain teknologi. tetapi sejarah menunjukan manusia tidak pernah merasa puas akan sebuah mencapaian iptek, Sehingga pesatnya perkembangan teknologi akan terus terjadi, coba bayangkan apa yang bakal terjadi 40 tahun kedepan wahai kawanku para pemuda? Maka, siapkah anda membuat bentuk kongkrit pemanfaatan teknologi sebagai pelestari nilai luhur? Tidak hanya berbicara dan terus membuat essai.
Arsh Starfy, 29 Desember 2011.
Kamis, Desember 01, 2011
encouragement! "beda sekolah di indonesia sama diluar"
Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
“Maaf… Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya.
“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.
Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut.
“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
“Maaf… Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya.
“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.
Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut.
“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
3 Menit saja
Jangan bersikap tawadhu dan rendah hati
‘bila kerendahhatianmu jadi alasan
untuk mundur dari kompetisi
Jangan pernah ingin mengalah
bila hanya
kamuflase untuk bersembunyi
dari kelemahan jiwamu
Bumi ini gelora api yg berkobar
dan debu yg berserak
mendekatlah pada api spirit
nyalakan hati yg lemah
penuhilah kalbumu dg kemarahan
marah karena malas
marah karena tak pernah dewasa
marah karena lemah hati
marah karena tidak marah
melihat kemajuan
sedang kita selalu dalam kemunduran
Menjauhlah dari debu yg berserak
karena debu tak pernah ciptakan sejarah
karena debu adalah sampah
yg selalu diinjak-injak waktu
Tawadhulah di saat kemenangan
karena saat itu
kau bagai sedang berdiri
di antara gunung dan ngarai
terus naik ke puncak berikutnya
atau meluncur ke ngarai yg terjal
Menangislah di saat kalah
karena air matamu akan jadi saksi
bahwa dirimu tak menghendaki kekalahan itu
bahwa dirimu tak ingin jadi serpihan arang
bahwa dirimu juga memimpikan gelora api kemenangan
bahwa dirimu ingin sekali ‘bertobat’
bertobat untuk tidak lagi berkubang
dalam lumpur kemalasan
dalam genangan perilaku tiada guna
dalam lilitan kelemahan jiwa
Pemuda itu cahaya
dan api yg menyala
yg dapat menerangi kegelapan
asa dan harapan
Pemuda itu pelopor
pembawa obor masa depan
penggerak nurani tua yg gersang
Pemuda itu Enerjik
dinamis
gelisah
selalu bergeliat
tak sabar akan waktu yg lambat
marah pada kondisi stagnan
yg tak berubah
karena perubahan bukti harapan
karena kemajuan tanda kedinamisan
karena kediaman adalah kematian
walau jasad bergerak
walau jantung berdegup
tapi jiwamu mati
dan liang kuburmu
adalah dirimu sendiri
‘bila kerendahhatianmu jadi alasan
untuk mundur dari kompetisi
Jangan pernah ingin mengalah
bila hanya
kamuflase untuk bersembunyi
dari kelemahan jiwamu
Bumi ini gelora api yg berkobar
dan debu yg berserak
mendekatlah pada api spirit
nyalakan hati yg lemah
penuhilah kalbumu dg kemarahan
marah karena malas
marah karena tak pernah dewasa
marah karena lemah hati
marah karena tidak marah
melihat kemajuan
sedang kita selalu dalam kemunduran
Menjauhlah dari debu yg berserak
karena debu tak pernah ciptakan sejarah
karena debu adalah sampah
yg selalu diinjak-injak waktu
Tawadhulah di saat kemenangan
karena saat itu
kau bagai sedang berdiri
di antara gunung dan ngarai
terus naik ke puncak berikutnya
atau meluncur ke ngarai yg terjal
Menangislah di saat kalah
karena air matamu akan jadi saksi
bahwa dirimu tak menghendaki kekalahan itu
bahwa dirimu tak ingin jadi serpihan arang
bahwa dirimu juga memimpikan gelora api kemenangan
bahwa dirimu ingin sekali ‘bertobat’
bertobat untuk tidak lagi berkubang
dalam lumpur kemalasan
dalam genangan perilaku tiada guna
dalam lilitan kelemahan jiwa
Pemuda itu cahaya
dan api yg menyala
yg dapat menerangi kegelapan
asa dan harapan
Pemuda itu pelopor
pembawa obor masa depan
penggerak nurani tua yg gersang
Pemuda itu Enerjik
dinamis
gelisah
selalu bergeliat
tak sabar akan waktu yg lambat
marah pada kondisi stagnan
yg tak berubah
karena perubahan bukti harapan
karena kemajuan tanda kedinamisan
karena kediaman adalah kematian
walau jasad bergerak
walau jantung berdegup
tapi jiwamu mati
dan liang kuburmu
adalah dirimu sendiri
PASSPORT, ayok buat!!!!!!!!!!!!!
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas menguruspasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punyapasport. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke PulauJawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memilikipasport .Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anakIndonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punyapasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas menguruspasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punyapasport. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke PulauJawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memilikipasport .Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anakIndonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punyapasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
MMRJ -mlampahmlampahrajelas-
MMRJ -mlampahmlampahrajelas-
oleh Arsh Starfy Firdausy pada 21 Oktober 2011 jam 14:31
Rabu 7 Agustus 2011
berbekal _+ 300rb. samangat sok kaya. dan semangat sok ngirit. mereka mencari tiket gerbong berjalan seharga 35 ribu. mereka berlima sekawan yang semangat dan mereka yang tak kenal menyerah membuka matanya untuk dimasuki besarnya dunia. namun hanya 5 yang bertahan. satu sakit karena pusing THR hanya sedikit (tapi uang dibank banyak)#haha. "wah ***** gak ikut gak ada yang traktir kuliner" kata kecewa itu selalu terngiang dalam telinga mereka selama perjalanan. kecewa terhadap uang yang tidak datang, bukan orangnya.tentu.
Di rumah gerbong, sangatlah ramai. maklum, lihat saja kapan peristiwa ini terjadi. mustahil!, gerbong untuk berempat sekawan hanya akan datang untuk seminggu kemudian "WAAAH". dipinggir rumah gerbong, ditempat yang bau pesingakhirnya mereka hanya meratapi nasib. pesing langsung hilang ketika ide ide tukang parkir berdatangan. tukang parkir adalah narasumber mereka saat itu. bayangkan ide itu sangat cemerlang.
pagi itu was-was. semua memang butuh pengorbanan man! seberapapun ukuran pelajaran yang kita dapat itulah hidup. jadi gapapalah mereka korbankan 35ribu itu untuk dikalikan beberapa kali. toh ini gak sering untuk mereka.
ide carut marut itupun dilaksanakan. mereka akhirnya, pergi ke rumah persegi panjang beroda untuk mencari dirinya yang sangat bervariasi (juga) harganya. adanya sore ternyata.kata narasumber. mereka kecewa macam kejatuhan bulan disiang hari saat itu. . disana, narasumber tak perlu diwawancarai. tapi terus berkata pada wartawan. tentu saja, yang keluar dari mulutnya penuh tipu muslihat.okelah, pagi hingga sore saat itu bermakna ditemani asap debu keringat dan cocacola gratis. GILA! iya memang seperti orang gila saat itu mereka. tapi mereka tak habis akal.
oke, mereka akhirny menunggu persegi panjang beroda itu hingga +_pukul 16.30 WIB hingga akhirnya yng ditunggu lewat tanpa berhenti membawa mereka. detik itu! lemas hati mereka. heuuuh.
hati lemas itu bangun seketika. setelah ide ide calo bermunculan. calo itu juga narasumber mereka. oiya, sebut saja mereka berempat wartawan tiban.
lalu, jogja-tasik mereka tunggu saja. dan semoga setengah jam penungguan itu berbuah kursi. berbuah anaknya pak budiman untuk dinikahi. ah tidak, mana punya budiman anak. haha. #******* banget.
perjalanan menyenangkan pun dimulai. mereka makan kacang. mereka makan angin. dingin.
tapi untungnya berbuah narasumber yang baik.
kamis 8 Agustus 2011
"JDUAR"
roda itu pecah. saat malam pukul _+ 01.00 a.m. persegi panjang itu mungkin ingin minum kopi atau gorengan. atau mungkin mie rebus. tepat sekali. warung itu tidak salah pilih tempat. beruntunglah penjualnya.disana ada anak kucing. ada wc terbuka. haha, tapi gak kelihatan karena gelap. ada juga tetehnya yang manis semanis kopi buatannya.
hangat susu menghangatkan hati yang malam itu carut marut. #aduh kok seperti ini sih. -,-
akhirnya mereka pindah kebudiman yang lain. yang datang dari belakang. berebut!.
sesampainya di POL. POL adalah....... adalah POL.
mereka mencari budiman tasik-bandung. jam 5 pagi berangkat karena terminal cicaheum menunggu mereka.
ciprat ciprat air di mushola sebentar. makan di warung situan. cabut pakai ledeng.
selama perjalanan narasumber hanya bisa diam. apalagi cewek itu. takut takut dia menjawab pertanyaan mereka. gedung sate dan gazebo tempat pertama. foto adalah tujuan hidup mereka. hidup saat itu. sekali lagi, foto adalah tujuan mereka.
lalu, berjalan. ke jembatan luis pasteur. mereka foto di bawah jembatan. foto ditulisan bdg, foto ditulisan dago, ya, itu jalan dago namanya.
untuk memulihkan hati yang belum genap.mereka foto juga di jembatan. jembatan yang rusak sepertinya.
akhirnya mereka memutuskan ke sebuah institut teknologi. sms dulu ke ******. oke, sampe sana, ke masjid' masjid apa yaa lupa namanya. haus dan akhirnya mereka minum. kemudian. yang disms datang untuk menjadi guide. wyuh, semua tempat dijelaskan. #ohh jadi gitu institut teknologi ini.
setelah itu mereka ngeledeng. cari tiket gerbong berjalan. panas. lewat simpang 5. lewat. mereka juga lewat universitas yang FE manajemennya ketiga nasional. #kata narasuber. oiya, bagi mereka semua orang yang ada di bis, dijalan, dimall, disana adalah narasumber. (to be continued)
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus
Aufi Filla dan Qiqy Kugy menyukai ini.
Qiqy Kugy keren kak,,....
nyambung lagiii
23 Oktober jam 13:40 · Suka
Mahenda Abdillah Kamil hahaha ..
d tnggu sja bang Arsh Starfy Firdausy brkreasi lgi .. :D
27 Oktober jam 11:11 · Suka
oleh Arsh Starfy Firdausy pada 21 Oktober 2011 jam 14:31
Rabu 7 Agustus 2011
berbekal _+ 300rb. samangat sok kaya. dan semangat sok ngirit. mereka mencari tiket gerbong berjalan seharga 35 ribu. mereka berlima sekawan yang semangat dan mereka yang tak kenal menyerah membuka matanya untuk dimasuki besarnya dunia. namun hanya 5 yang bertahan. satu sakit karena pusing THR hanya sedikit (tapi uang dibank banyak)#haha. "wah ***** gak ikut gak ada yang traktir kuliner" kata kecewa itu selalu terngiang dalam telinga mereka selama perjalanan. kecewa terhadap uang yang tidak datang, bukan orangnya.tentu.
Di rumah gerbong, sangatlah ramai. maklum, lihat saja kapan peristiwa ini terjadi. mustahil!, gerbong untuk berempat sekawan hanya akan datang untuk seminggu kemudian "WAAAH". dipinggir rumah gerbong, ditempat yang bau pesingakhirnya mereka hanya meratapi nasib. pesing langsung hilang ketika ide ide tukang parkir berdatangan. tukang parkir adalah narasumber mereka saat itu. bayangkan ide itu sangat cemerlang.
pagi itu was-was. semua memang butuh pengorbanan man! seberapapun ukuran pelajaran yang kita dapat itulah hidup. jadi gapapalah mereka korbankan 35ribu itu untuk dikalikan beberapa kali. toh ini gak sering untuk mereka.
ide carut marut itupun dilaksanakan. mereka akhirnya, pergi ke rumah persegi panjang beroda untuk mencari dirinya yang sangat bervariasi (juga) harganya. adanya sore ternyata.kata narasumber. mereka kecewa macam kejatuhan bulan disiang hari saat itu. . disana, narasumber tak perlu diwawancarai. tapi terus berkata pada wartawan. tentu saja, yang keluar dari mulutnya penuh tipu muslihat.okelah, pagi hingga sore saat itu bermakna ditemani asap debu keringat dan cocacola gratis. GILA! iya memang seperti orang gila saat itu mereka. tapi mereka tak habis akal.
oke, mereka akhirny menunggu persegi panjang beroda itu hingga +_pukul 16.30 WIB hingga akhirnya yng ditunggu lewat tanpa berhenti membawa mereka. detik itu! lemas hati mereka. heuuuh.
hati lemas itu bangun seketika. setelah ide ide calo bermunculan. calo itu juga narasumber mereka. oiya, sebut saja mereka berempat wartawan tiban.
lalu, jogja-tasik mereka tunggu saja. dan semoga setengah jam penungguan itu berbuah kursi. berbuah anaknya pak budiman untuk dinikahi. ah tidak, mana punya budiman anak. haha. #******* banget.
perjalanan menyenangkan pun dimulai. mereka makan kacang. mereka makan angin. dingin.
tapi untungnya berbuah narasumber yang baik.
kamis 8 Agustus 2011
"JDUAR"
roda itu pecah. saat malam pukul _+ 01.00 a.m. persegi panjang itu mungkin ingin minum kopi atau gorengan. atau mungkin mie rebus. tepat sekali. warung itu tidak salah pilih tempat. beruntunglah penjualnya.disana ada anak kucing. ada wc terbuka. haha, tapi gak kelihatan karena gelap. ada juga tetehnya yang manis semanis kopi buatannya.
hangat susu menghangatkan hati yang malam itu carut marut. #aduh kok seperti ini sih. -,-
akhirnya mereka pindah kebudiman yang lain. yang datang dari belakang. berebut!.
sesampainya di POL. POL adalah....... adalah POL.
mereka mencari budiman tasik-bandung. jam 5 pagi berangkat karena terminal cicaheum menunggu mereka.
ciprat ciprat air di mushola sebentar. makan di warung situan. cabut pakai ledeng.
selama perjalanan narasumber hanya bisa diam. apalagi cewek itu. takut takut dia menjawab pertanyaan mereka. gedung sate dan gazebo tempat pertama. foto adalah tujuan hidup mereka. hidup saat itu. sekali lagi, foto adalah tujuan mereka.
lalu, berjalan. ke jembatan luis pasteur. mereka foto di bawah jembatan. foto ditulisan bdg, foto ditulisan dago, ya, itu jalan dago namanya.
untuk memulihkan hati yang belum genap.mereka foto juga di jembatan. jembatan yang rusak sepertinya.
akhirnya mereka memutuskan ke sebuah institut teknologi. sms dulu ke ******. oke, sampe sana, ke masjid' masjid apa yaa lupa namanya. haus dan akhirnya mereka minum. kemudian. yang disms datang untuk menjadi guide. wyuh, semua tempat dijelaskan. #ohh jadi gitu institut teknologi ini.
setelah itu mereka ngeledeng. cari tiket gerbong berjalan. panas. lewat simpang 5. lewat. mereka juga lewat universitas yang FE manajemennya ketiga nasional. #kata narasuber. oiya, bagi mereka semua orang yang ada di bis, dijalan, dimall, disana adalah narasumber. (to be continued)
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus
Aufi Filla dan Qiqy Kugy menyukai ini.
Qiqy Kugy keren kak,,....
nyambung lagiii
23 Oktober jam 13:40 · Suka
Mahenda Abdillah Kamil hahaha ..
d tnggu sja bang Arsh Starfy Firdausy brkreasi lgi .. :D
27 Oktober jam 11:11 · Suka
Nasehat HOS Tjokroaminoto
Nasehat HOS Tjokroaminoto
oleh Arsh Starfy Firdausy pada 16 November 2011 jam 16:42
HOS Tjokroaminoto adalah peletak dasar pluralisme Indonesia pertama kali. Beliau adalah guru dari Soekarno, Musso, Alimin, Kartusuwiryo, Abikusno, KH Mas Mansyur dll. Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Soekarno pernah berkata "Jika Tjokroaminoto masih hidup maka tak mungkin Soekarno menjadi Presiden, Tjokroaminoto lah yang akan menjadi presiden". Segala ajaran Tjokroaminoto begitu membekas pada Soekarno sehingga dia mengikuti gaya bicara, intonasi dan gerak tangan Tjokroaminoto ketika berpidato.
Belanda memberikan julukan Tjokroaminoto "Sang Raja tanpa Mahkota" hal ini merujuk keluasan pikiran dan pengaruh Tjokroaminoto dan bagaimana Tjokroaminoto paham benar mengakomodir semua paham dan perbedaan pandangan tentang bangsa Indonesia kedepan. Tjokroaminoto pula lah yang mendorong Soekarno mendirikan PNI karena menurut Tjokroaminoto Indonesia memerlukan partai Nasionalis yang islam dan Islamis yang berkebangsaan, dan keduanya harus bergandengan tangan melawan penjajah.
Berikut adalah petikan-petikan nasihat beliau dari berbagai sumber :
W. Wondoamiseno menceritakan bahwa marhum jang oetama memberi wejangan kepada sekalian kader-kadernya termasuk W Wondoamiseno sebagai berikut:
“Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul betul kepada rakyat, , korbankanlah jiwa raga dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat seperti membela dirimu sendiri, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya. Dan cintailah kepada kebenaran dalam segala usahamu, tentu Allah akan menolong kamu. Jangan sombong dan jangan bercidera janji. Jangan membeda-bedakan bulu, barangsiapa datang kepadamu terimalah dengan baik dan hormat, meski fakir dan miskin sekalipun. Kalau kebetulan kamu tidur, bangunlah dengan hati yang ikhlas, jangan menyesal sekalipun yang datang tidak membawa rejeki bagimu. Percayalah Allah sifat murah dan kasih sayang pada hambanya. Tetapi…….. kalau kamu berhadapan dengan lawan , baik siapa dan dari bangsa apapun juga, harus kamu tunjukkan sikap sebagai satria yang gagah berani, janganlah sekali-kali suka merendahkan diri. Seorang pemimpin harus mempunyai rasa perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dan lebih berharga derajatnya dalam pandangan rakyat dan juga dalam pandangan Allah. Percayalah ………….. Allah tidak akan sia siakan segala usahamu sebagai pemimpin rakyat, asal hatimu jujur dan ikhlas. Insya Allah pengaruh akan datang dengan sendirinya. Ilmu boleh kamu cari, tapi kepercayaan adalah tergantung atas kejujuran dan keichlasan hatimu sendiri. Kalau kamu berjanji tepatilah, jangan bercidera !”.
“Kalau kamu mau memburuh, maka sebaik baik majikan adalah Allah ta’ala”
“………………kalau ada orang Islam mendirikan sekolahan (madrasah) tinggi, pertengahan atau rendah, dengan cuma memberi pengajaran untuk kepandaian ‘aqal saja, tetapi di dalam hatinya anak-anak tidak ditanamkan benih kemerdekaan dan benih democratie, yang menjadi tanda kebesaran dan tanda perbedaannya Ummat Islam besar pada zaman dulu itu, dan di dalam hatinya anak-anak tidak pula ditanamkan benihnya keberanian yang luhur, keichlasan hati, kesetiaan dan kecintaan kepada barang yang benar, yang telah menjadi tabi’atnya pergaulan hidup Islam bersama pada zaman dulu, — dan murid-murid tidak juga diberinya pengajaran yang mendidik kebhatinan yang halus, keutamaan budi dan kebaikan perangai, yang dulu telah membikin orang arab penduduk lautan pasir menjadi bangsa tuan yang halus ‘adat lembaganya’ dan menjadi tukang menanam keadaban dan kesopanan, — dan juga di dalam hatinya murid-murid tidak ditanam bijinya penghidupan yang saleh dan sederhana, sebagai yang dulu sudah menjadikan mashur namanya ummat Islam, — sekolah-sekolah yang hanya memberi kepandaian yang “dingin”, “tidak hidup” dan akhrnya hanya menuntun kepada materialisme, sekolah-sekolah yang demikian itu bagi ummat Islam lebih baik tidak ada saja!”
"setinggi - tinggi ilmu, semurni-murni Tauhid, sepintar-pintar siasat"
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus
oleh Arsh Starfy Firdausy pada 16 November 2011 jam 16:42
HOS Tjokroaminoto adalah peletak dasar pluralisme Indonesia pertama kali. Beliau adalah guru dari Soekarno, Musso, Alimin, Kartusuwiryo, Abikusno, KH Mas Mansyur dll. Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Soekarno pernah berkata "Jika Tjokroaminoto masih hidup maka tak mungkin Soekarno menjadi Presiden, Tjokroaminoto lah yang akan menjadi presiden". Segala ajaran Tjokroaminoto begitu membekas pada Soekarno sehingga dia mengikuti gaya bicara, intonasi dan gerak tangan Tjokroaminoto ketika berpidato.
Belanda memberikan julukan Tjokroaminoto "Sang Raja tanpa Mahkota" hal ini merujuk keluasan pikiran dan pengaruh Tjokroaminoto dan bagaimana Tjokroaminoto paham benar mengakomodir semua paham dan perbedaan pandangan tentang bangsa Indonesia kedepan. Tjokroaminoto pula lah yang mendorong Soekarno mendirikan PNI karena menurut Tjokroaminoto Indonesia memerlukan partai Nasionalis yang islam dan Islamis yang berkebangsaan, dan keduanya harus bergandengan tangan melawan penjajah.
Berikut adalah petikan-petikan nasihat beliau dari berbagai sumber :
W. Wondoamiseno menceritakan bahwa marhum jang oetama memberi wejangan kepada sekalian kader-kadernya termasuk W Wondoamiseno sebagai berikut:
“Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul betul kepada rakyat, , korbankanlah jiwa raga dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat seperti membela dirimu sendiri, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya. Dan cintailah kepada kebenaran dalam segala usahamu, tentu Allah akan menolong kamu. Jangan sombong dan jangan bercidera janji. Jangan membeda-bedakan bulu, barangsiapa datang kepadamu terimalah dengan baik dan hormat, meski fakir dan miskin sekalipun. Kalau kebetulan kamu tidur, bangunlah dengan hati yang ikhlas, jangan menyesal sekalipun yang datang tidak membawa rejeki bagimu. Percayalah Allah sifat murah dan kasih sayang pada hambanya. Tetapi…….. kalau kamu berhadapan dengan lawan , baik siapa dan dari bangsa apapun juga, harus kamu tunjukkan sikap sebagai satria yang gagah berani, janganlah sekali-kali suka merendahkan diri. Seorang pemimpin harus mempunyai rasa perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dan lebih berharga derajatnya dalam pandangan rakyat dan juga dalam pandangan Allah. Percayalah ………….. Allah tidak akan sia siakan segala usahamu sebagai pemimpin rakyat, asal hatimu jujur dan ikhlas. Insya Allah pengaruh akan datang dengan sendirinya. Ilmu boleh kamu cari, tapi kepercayaan adalah tergantung atas kejujuran dan keichlasan hatimu sendiri. Kalau kamu berjanji tepatilah, jangan bercidera !”.
“Kalau kamu mau memburuh, maka sebaik baik majikan adalah Allah ta’ala”
“………………kalau ada orang Islam mendirikan sekolahan (madrasah) tinggi, pertengahan atau rendah, dengan cuma memberi pengajaran untuk kepandaian ‘aqal saja, tetapi di dalam hatinya anak-anak tidak ditanamkan benih kemerdekaan dan benih democratie, yang menjadi tanda kebesaran dan tanda perbedaannya Ummat Islam besar pada zaman dulu itu, dan di dalam hatinya anak-anak tidak pula ditanamkan benihnya keberanian yang luhur, keichlasan hati, kesetiaan dan kecintaan kepada barang yang benar, yang telah menjadi tabi’atnya pergaulan hidup Islam bersama pada zaman dulu, — dan murid-murid tidak juga diberinya pengajaran yang mendidik kebhatinan yang halus, keutamaan budi dan kebaikan perangai, yang dulu telah membikin orang arab penduduk lautan pasir menjadi bangsa tuan yang halus ‘adat lembaganya’ dan menjadi tukang menanam keadaban dan kesopanan, — dan juga di dalam hatinya murid-murid tidak ditanam bijinya penghidupan yang saleh dan sederhana, sebagai yang dulu sudah menjadikan mashur namanya ummat Islam, — sekolah-sekolah yang hanya memberi kepandaian yang “dingin”, “tidak hidup” dan akhrnya hanya menuntun kepada materialisme, sekolah-sekolah yang demikian itu bagi ummat Islam lebih baik tidak ada saja!”
"setinggi - tinggi ilmu, semurni-murni Tauhid, sepintar-pintar siasat"
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus
Langganan:
Postingan (Atom)